Subhanallah... Gara-gara Lele, Luka Penderita Diabetes Cepat Sembuh! Tidak Ada Salahny Mencoba - OraLucu News

Subhanallah... Gara-gara Lele, Luka Penderita Diabetes Cepat Sembuh! Tidak Ada Salahny Mencoba



Tanggal 14 November diperingati sebagai Hari Diabetes Sedunia. Banyak dari penderita diabetes yang mengalami luka tetapi biasanya lukanya sulit sembuh. Bahkan terkadang organ yang luka harus diamputasi.

Salep obat yang beredar tak mempan lagi. Salep temuan mahasiswa UGM ini memberikan harapan baru. Simak tulisan Sulistyawan, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2016 berikut ini.

Jumlah penderita diabetes di Indonesia tiap tahun terus bertambah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2013 memperoleh hasil, proporsi diabetes melitus (DM)pada usia di atas 15 tahun meningkat dua kali pada 2013.

Definisi DM di sini adalah jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis kencing manis oleh dokter tapi dalam sebulan terakhir mengalami gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dalam jumlah banyak, dan berat badan turun.

Salah satu komplikasi penyakit DM adalah ulkus diabetikum atau ulkus kaki diabetikum. Pada kondisi ini, luka yang timbul sukar atau lama sembuh.

Pada pasien diabetes terjadi penyumbatan pembuluh darah dan kerusakan saraf akibat kadar gula darah yang tinggi. Akibatnya terjadi penurunan sensasi rabaan. Luka akibat lecet atau trauma pada tungkai pun tak terasa.

Kurangnya sirkulasi darah di dalam kaki akibat tersumbatnya arteri menyebabkan proses penyembuhan luka buruk. Hal terburuk yang dialami oleh penderita diabetes yang kakinya terkena luka adalah pembusukan.

Ujung-ujungnya amputasi. Di pasaran beredar salep Chloramphenicol yang diperuntukkan bagi luka penderita diabetes. Sayangnya tak banyak membantu. Nah, atas dasar itulah Utami Tri Khasanah bersama teman-temannya di Universitas Gadjah Mada menciptakan salep khusus penderita diabetes. 

Menariknya, bahan dasar salep itu dari lendir lele. Antimikroba sebagai “pasukan tempur” Utami yang mahasiswa dari Fakultas Farmasi UGM angkatan 2014 menggandeng teman-temanya dari Fakultas Kedokteran Hewan, yakni Megaria Ardiani, Joshua Alif Wendy, Dion Adiriesta, dan Raden Mas Ravi Hadyan.

Mereka mengamati bahwa lele mampu beradaptasi pada habitat yang sangat kotor sekalipun. Setelah ditelisik, ternyata tubuh ikan lele diselimuti lendir (mucus) yang mengandung zat anti microbacterial peptides (AMPs) atau peptida antimikrobakteri.

Peptida ini merupakan bagian dari respon imun bawaan dan ditemukan di antara semua kelas kehidupan. Hanya saja, pada ikan lele, lendir ini sifatnya seperti mantel atau jas hujan yang melindungi mereka dari kondisi lingkungan yang sangat kotor sekalipun.

Bahkan, lendir ini volumenya semakin meningkat seiring dengan peningkatan stres yang dialami ikan lele pada habitatnya. Sebenarnya lendir ini dihasilkan oleh semua ikan, baik yang bersisik maupun tidak.

Fungsi lendir beragam, seperti mengurangi gesekan dengan air pada saat berenang, mempertahankan kondisi bentuk ikan terhadap tekanan air, serta melindungi tubuh ikan dari serangan mikroorganisme yang ada dalam air.

Tetapi, ikan yang tidak bersisik seperti ikan lele lapisan lendirnya lebih tebal dan konsentrasinya lebih banyak daripada ikan yang bersisik. Alasan lain dipilih ikan lele, “Ikan lele dikenal sebagai ikan air tawar yang punya mekanisme imunitas kompleks."

"Meski hidup di lingkungan air tercemar penuh bakteri patogen, tetapi jarang mengalami infeksi karena imunitas non-spesifiknya berupa lendir pada kulit," ujar Dion ketika bertemu dengan Intisari di kampus UGM September lalu.

Berdasarkan hasil screening AMPs, pada konsentrasi 10 persen lendir lele selain mengandung protein sebesar 23,64 mg/ml juga mengandung antimikrobial peptide lectin, claricin, hepsidin, lizo zyme dan flavoenzyme.

Kandungan antimikrobial inilah yang menjadi “pasukan tempur” ikan lele dalam melawan bakteri patogen.

Fakta lain yang juga mengagumkan dari ikan lele adalah kemampuannya dalam menyembuhkan luka, baik yang timbul karena pertarungan sesama ikan lele maupun sebab lainnya.

Luka yang dialami ikan lele biasanya akan segera sembuh dalam waktu yang relatif cepat. Hal itu diduga karena peran dari lendir yang menyelimuti tubuhnya.

Salep lebih gampang menempel Dion menjelaskan bahwa penelitian yang dimulai sejak Februari 2016 ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: screening zat peptida antimikrobial yang terdapat dalam lendir lele, pembuatan salep, serta uji invivo melalui induksi diabetes melitus tipe-2 pada hewan percobaan yaitu beberapa ekor tikus.

Dalam penelitian ini bakter jenis Methicillin Resistant Staphylococus Aerus (MRSA) dipilih untuk menginfeksi luka. Pertimbangannya bakteri ini merupakan bakteri paling patogen yang telah resisten terhadap berbagai jenis antibiotik.

"Kita sengaja memilih bakteri ini untuk menguji sejauh mana lendir lele ini mampu melumpuhkan bakteri yang paling patogen," jelas Dion. Beberapa ekor tikus diabetes tersebut kemudian dilukai dan diberikan pengobatan dengan dua jenis salep yang berbeda.

Satu kelompok tikus diberikan obat salep Chlorampenicol yang banyak dijual di toko obat, sedang satu kelompok tikus lainnya diberikan pengobatan salep racikan yang mengandung lendir lele. Lama penyalepan selama 15 hari.

Setiap pagi dan sore luka pada tikus diolesi salep secara rutin. Bukan hanya pada pinggiran luka, tetapi juga langsung dioleskan pada luka infeksi.

Hasilnya? Salep modifikasi lendir lele memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan salep Chlorampenicol. Terbukti bahwa lendir lele mampu melumpuhkan bakteri yang menginfeksi luka tersebut.

Tak hanya cepat sembuh, "Uji coba laboratorium menunjukkan bahwa bekas luka tidak pitak. Tapi tumbuh bulu seperti semula. Artinya lendir lele ini bukan sekadar mampu menyembuhkan luka, tetapi mampu merangsang tumbuhnya jaringan kulit yang baru," tandas Dion.

Dipilihnya bentuk salep daripada bentuk cair karena lebih gampang menempel pada lapisan kulit. Hasilnya, kandungan obat tersebut tidak hanya menjangkau permukaan kulit tetapi jaringan kulit yang lebih dalam.

“Memang uji coba kami baru terbatas pada mamalia kecil, (namun) kami yakin kondisinya tidak akan berubah jika diterapkan pada mamalia besar termasuk manusia,” ujar Utami sambil menjelaskan penemuan mereka diberi nama Super Clariac Bio Mimicry Healing Agent (SCRIACBIOLINGENT).

Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, pihak UGM sedang mengupayakan sertifikat hak paten agar hasil penelitian ini tidak serta merta dicontek dan diproduksi secara massal tanpa sepengetahuan para penelitinya

Kini penderita diabetes pun memiliki harapan tak mesti diamputasi ketika organ tubuh seperti kaki luka karena suatu sebab. Langkah awal Biomimikri Penelitian yang dilakukan Utami dkk. ini merupakan realisasi dari konsep biomimikri yang ramai diperbincangkan sejak awal tahun 1980-an ketika ilmuwan Janine Benyus meluncurkan buku Biomimicry,Innovation Inspired by Nature.

Dalam bukunya, Benyus menerangkan bahwa biomimikri adalah suatu proses mempelajari alam di sekitar dan menjadikannya inspirasi serta meniru model dan proses dari alam untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Biomimikri melihat alam sebagai “model, ukuran, dan mentor”. Melihat keunikan model, sistem, proses, dan unsur yang berasal dari alam di sekeliling kita, maka bisa diambil pelajaran dan diaplikasikannya sebagai kreativitas dan inovasi baru.

Biomimikri dapat diimplementasikan dalam berbagai hal, termasuk dalam bidang kesehatan. Utami mengungkapkan bahwa salep mukus ikan lele mampu menyembuhkan luka diabetes kronis yang terinfeksi MRSA dalam jangka waktu 15 hari secara signifikan.

Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan terlihatnya laju epitel yang lebih cepat. "Ini berbeda dengan penggunaan salep Chloramphenicol yang banyak dijual di toko obat. Salep Chloramphenicol justru tidak memberikan hasil penyembuhan yang baik," ujar Utami kepada Intisari.

BACA HALAMAN SELANJUTNYA

Loading...

Loading...

Artikel Terkait

Subhanallah... Gara-gara Lele, Luka Penderita Diabetes Cepat Sembuh! Tidak Ada Salahny Mencoba
4/ 5
Oleh